Langsung ke konten utama

Soesilo Toer Sang Pemulung Tapi Ratusan Karya


Bersama bapak Soesilo Toer

Ketika berjumpa kemudian terlibat dalam forum diskusi bersama Soesilo Toer, saya menyapa beliau dengan sebutan “Sang Pemulung Tapi Ratusan Karya”. Ketika kita membaca ataupun mendengar nama Mastoer, tentunya tidak asing lagi di telingan kita. Mastoer sendiri adalah nama dari ayah Pramoedya Ananta Toer (Pram), Pram adalah sosok pejuang pahlawan yang melawan ketidakadilan di negeri ini dengan pena dan tulisan nya dan ayah dari Soesilo Toer adik dari Pram.

Forum diskusi ini adalah bagian dari “Memperingati 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer” yang berlokasi di Pacet-Mojokerto, banyak orang yang berpartisipasi dalam kegiatan ini sehingga peserta yang hadir tidak hanya dari kaum muda mahasiswa tapi juga warga masyarakat setempat, lebih antusias lagi karena ditambah pematerinya langsung dari Soesilo Toer.

Forum diskusi

Materi yang disampaikan beliau seperti kita sedang membaca buku karena tutur kata yang sederhana tapi penuh makna, begitu juga pengalaman yang beliau ceritakan sangatlah tersentuh dengan batin karena berbagai peristiwa suka duka dan perjuangan panjang yang dilewatinya. Pengalaman dan perjuangan itu seharusnya sebagai spirit pembelajaran untuk anak muda saat ini, yang menginginkan sesuatu dengan instan.

Semangat beliau bisa dikatakan mengalahkan semangat anak muda hari ini, dalam dunia literasi membaca dan menulis. Umur bukanlah menjadi penghalang bagi Soesilo Toer untuk menulis dan berkarya, umur yang seusia beliau bagi kita kaum muda adalah waktu untuk istirahat. Tapi kenyataanya tidak, fisik dan usia boleh tua tapi tidak dengan jiwanya bahkan suaranya lebih lantang dari anak muda.

Moment paling membekas bagi saya, dari sosok Soesilo Toer adalah sejak usia 13 tahun dia sudah menulis segala macam tulisan, baik dari cerpen sampai novel. Ratusan karyanya diterbitkan dan dimuat secara bersambung di berbagai media cetak dan bisa kita jumpai di toko-toko buku.

Banyak nasihat ia sampaikan, terutama pentingnya membaca sebagaimana dalam bukunya berjudul: “Perjuangan Sebuah Lembaga Pendidikan (IBO di Blora)” bahwa membaca buku berarti menambah wawasan, menambah pengetahuan, sekaligus menambah kemungkinan lahir ide-ide baru dalam perbendaharaan pemikiran. Kalau sudah demikian, si pembaca akan terangsang untuk menulis. Karena itu pengarang tulen pasti punya banyak buku, karena itu adalah modal, itu adalah cermin diri. Buku itu adalah bagian dari jiwanya.

Soesilo Toer bercerita bahwa ia memiliki watak sangat berbeda dengan kakanya, Pramoedya Ananta Toer. Tapi mereka sama-sama memiliki sifat individualis dan menjadi seorang penulis. Selain itu, Soesilo adalah satu dari banyak tahanan politik Orde Baru (Orba) yang dipenjara tanpa pengadilan dan dilepaskan pada tahun 1978.

Lepas dari penjara, Soesilo pun hidup berpindah dari Jakarta, Bekasi, hingga pulang lagi ke kota kelahirannya di Blora. Ia dituding PKI sehingga gelar doktornya tidak diakui Pemerintah Indonesia. Dikutip dari berbagai sumber Soesilo saat ini juga bekerja sebagai pemulung dengan mengendarai motor butut berkeranjang. Selain memulung, ia juga bertenak ayam dan kambing di rumahnya. Di usia senjanya, ia masih aktif sebagai pegiat literasi. Ia juga memiliki penerbit yang bernama Pataba Press dan mengelola sebuah perpustakaan bernama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer (Pataba).

Semoga kita bisa mewaris semangatnya Pramoedya Ananta Toer sosok yang berani menyuarakan ketidakadilan melalui tulisan-tulisannya dan Soesilo Toer sosok pejuang literasi.

Komentar

© 2020 Tassangaji

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.